A. Pendahuluan
Bahasa, jati diri, dan karakter merupakan tiga hal yang menyatu dalam diri seorang penutur. Di dalam proses berbahasa, seorang penutur sedang menunjukkan tiga hal sekaligus, yakni sistem linguistik bahasanya, identitas bahasa, dan karakter diri si penuturnya. Dengan demikian, penutur bahasa Indonesia pada hakikatnya adalah duta linguistik, duta jati diri bangsa, dan sekaligus duta bagi dirinya sendiri. Hal ini berarti, penutur jati bahasa Indonesia sadar atau tidak sedang membawakan tiga peran penting tersebut, yang berarti si penutur tidak dapat berspekulasi dengan bentuk-bentuk linguistik yang dapat menghancurkan peran yang diembannya.
Bahasa Indonesia kini berada dalam tekanan. Di satu pihak, bahasa Indonesia tertekan oleh maraknya penggunaan bahasa asing, di lain pihak pembocoran diglosia oleh bahasa daerah tidak terelakkan. Sikap berbahasa sebagian penutur bahasa Indonesia ditengarai kurang positif sehingga sering melakukan infiltrasi bahasa asing dan bahasa daerah, suka mencampur bahasa Indonesia dengan bahasa daerah, membuat variasi bahasa yang merusak bentuk standar bahasa Indonesia. Jati diri bahasa Indonesia menjadi goyah dan cenderung labil akibat ketidakjelasan komponen yang dimilik. Ini berarti, jati diri bahasa Indonesia sedang dipertaruhkan oleh penuturnya sendiri.
Selain kurang stabilnya jati diri bangsa melalui bahasa, karakter anak bangsa saat ini juga sedang berada pada posisi yang mengkhawatirkan. Nilai-nilai kejujuran, tanggung jawab, keadilan, ketuhanan, kepedulian, tenggang rasa, kesantunan, sportivitas, dan kerendahan hati terus terkikis. Dalam berbagai interaksi, kita disuguhi “perang bahasa” yang mempertontonkan adegan pertikaian, ketakaburan, penghinaan, pelecehan, dan caci-maki. Dalam media jejaring sosial pun perilaku berbahasa tersebut muncul tiada henti dan semakin beragam, seperti contoh berikut ini.
(1) Dikutip dari FB
Cpoetclldhatee : dpt newgbetan niee
Munawaroh : putri jgn pacaran terus dong
Cpoetclldhatee : msllah wat ibuk? xipo
Seitandeproung : liar bgt bgt c loe
Cpoetclldhatee : ska2 gw j les
Seitandeproung : gk class gue jg xeee
Contoh status-komen dalam jejaring sosial facebook tersebut menjadi salah satu variasi bahasa gaul subvariasi alay yang paling digemari. Hal tersebut ditandai dengan bentuk yang khas, pemilihan nama yang kekanak-kanakan, isi yang emosional, dan marak di berbagai media. Contoh tersebut masih belum seberapa jika dibandingkan dengan makian yang ada di youtube. Bertebaran kata kotor dan kasar, menunjukkan bagaimana bahasa juling ke dalam salah satu fungsi, yakni fungsi ekspresif. Hal ini menunjukkan bahwa bahasa Indonesia mengalami disfungsi sosial sehingga perlu usaha penegakan kembali.
Berbagai usaha menegakkan kembali bahasa Indonesia telah dilakukan oleh berbagai pihak, antara lain himbauan, pelatihan, workshop, pembinaan, lomba-lomba, pemodelan, dan konsultasi. Meskipun demikian, hasilnya belum seperti yang diharapkan. Generasi muda sebagai agen perubahan masih terus menerus membuat kreasi bahasa yang semakin jauh dari bentuk standar. Belum lagi variasi gaul dari integrasi bahasa Inggris yang semau-mau juga semakin menjamur dan mampu menyebar luas menembus kalangan dewasa. Eksperimen bahasa yang demikian gencar, menjadi kekuatan yang terus menekan kelangsungan bahasa Indonesia dari waktu ke waktu. Hal ini bukan masalah sepele karena bahasa terkait erat dengan budaya dan karakter penuturnya. Pun setiap bahasa memiliki jati diri. Apabila jati diri suatu bahasa atau variasi bahasa tidak jelas, dapat diprediksi bahwa budaya dan karakter yang diusungnya pun labil. Hal inilah yang perlu diwaspadai.
Bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu, memiliki arti bahwa bahasa Indonesia harus cukup kuat berdiri dan menaungi bahasa-bahasa daerah yang mengayakannya. Bahasa Indonesia tidak boleh mendesak atau didesak oleh bahasa daerah. Bahasa Indonesia dan bahasa daerah harus berdiri bersama-sama sesuai fungsi dan kedudukan masing-masing sehingga keberagaman Indonesia dalam berbagai bahasa dan budayanya dapat dijamin. Oleh karena itu, penegakan diglosia menjadi syarat bagi tegakkan keberagaman di Indonesia.
B. Pengembangan Bahasa
Dalam percaturan multibidang, bahasa memegang peran yang krusial. Sebagai alat berpikir, bahasa mewadahi sekaligus menyaranai kebutuhan penuturnya dalam berbagai keperluan. Bahasa mengayakan ide melalui bentuk-bentuk yang kreatif dan inovatif. Bahasa juga mendokumentasikan kreativitas melalui bentuk-bentuk yang mengandung fitur-fitur semantik baru. Bahasa juga memberi peluang bagi penuturnya untuk terus mengembangkan kekayaan repertoarnya, menyinergikan berbagai konsep, serta mengembangkan bentuk-bentuk yang tepat. Oleh karena itu, perlu bagi pemegang kebijakan mengembangkan bahasa secara tepat agar bahasa, dalam pengertian ini bahasa Indonesia, tidak terbonsai di tengah desakan bahasa-bahasa lain di dunia.
Mengembangkan bahasa berarti juga mengembangkan jati diri dan karakter penuturnya. Mengembangkan bahasa tidak hanya terkait dengan masalah repertoar tetapi juga menyangkut penegakan identitas dan nilai-nilai baik yang membangunnya. Mengembangkan bahasa perlu melihat aspek politik bahasa dan pengembangan sumber daya. Hal ini penting demi tegaknya disiplin berbahasa sekaligus pragmatik berbahasa. Tanpa melihat kedua hal tersebut, penutur bahasa akan gamang dan mengarahkan bahasa pada bentuk baru yang lepas dari kultur tinggi bangsanya. Bahasa Indonesia akan rusak dan ditinggalkan pada akhirnya.
Dalam masyarakat multilingual, usaha pengembangan bahasa menjadi masalah yang kompleks dan sulit. Pengembangan bahasa tidak dapat dilakukan begitu saja tanpa memandang kedudukan satu bahasa di antara bahasa yang lain. Meskipun menurut Hoffman (1991), bahasa milik kelompok mayoritas cenderung berada pada posisi superior, usaha pengembangan bahasa di Indonesia tetap perlu mempertimbangkan kehidupan semua bahasa. Bagaimana pun, lanjut Hoffman (1991), bahasa merupakan perwujudan dan indikator identitas kelompok yang langsung teramati sehingga memberi peluang “hidup bersama” pada semua bahasa merupakan pelestarian nilai-nilai yang hidup dalam komunitas bahasa tersebut
Pada kondisi yang buruk, pengembangan bahasa tidak berjalan optimal karena tiap-tiap bahasa berperilaku sebagai “pembocor” bahasa yang lain atau bahkan berebut kedudukan dan fungsi dalam masyarakat. Di Indonesia, sebagai negara yang multilingual, perebutan memang tidak terjadi. Tetapi fenomena pembocoran antara bahasa Indonesia dan bahasa daerah, dan antara bahasa Indonesia dengan bahasa asing justru terus terjadi. Fenomena “saling membocorkan” ini berbahaya bagi kelangsungan setiap bahasa. Akibat yang dapat diprediksi adalah perkembangan bahasa akan juling dan kedirian bahasa sebagai wujud jati diri penutur akan rubuh.
Dalam masyarakat multilingual, mengembangkan bahasa berarti juga mendudukkan bahasa pada tempatnya dan mengendalikan kebocoran diglosia sehingga setiap bahasa mampu berperan optimal. Ini berarti dibutuhkan kesadaran tentang variasi rendah dan variasi tinggi, atau kesadaran tentang kedudukan setiap bahasa yang hidup berdampingan. Setiap penutur wajib menjaga stabilitas tersebut dan pemangku kebijakan harus memastikan stabilitas tersebut tetap berada pada tempatnya masing-masing. Bukan itu saja, penguasaan bahasa oleh bilingual di Indonesia perlu didorong ke arah pengayaan bahasa bukan “pengadonan” bahasa sehingga menghilangkan karakteristik lingustiknya. Penelitian Paul Ohoi Wutun (2002) di Bantul menunjukkan bahwa proses pencampuran bahasa Indonesia dan bahasa daerah (dalam hal ini bahasa Jawa) telah dilakukan sejak dini. Fenomena ini didahului oleh kebiasaan para guru TK dan SD yang gemar mencampur kedua bahasa tersebut sehingga anak-anak mengalami hambatan memperoleh bahasa Indonesia dan bahasa daerah dengan baik. Apabila fenomena ini terus terjadi, pengembangan bahasa Indonesia dan bahasa daerah akan terhambat.
C. Jati Diri dan Karakter dalam Bahasa
Bahasa dipelajari sejak dini, yang berarti membentuk jati diri dan karakter pun dimulai sejak dini. Ketika pertama belajar bahasa, secara tidak langsung anak menandai dirinya sebagai penutur bahasa lengkap dengan jati diri bahasa tersebut. Anak belajar bahwa bahasa yang didengarnya memiliki fitur fonologis yang berbeda-beda, bahwa bahasa yang dipajankan dihadapannya berbeda dengan yang didengarnya di televisi, bahwa orang berkomunikasi secara berbeda dan dengan gaya yang berbeda pula, bahwa ada susunan bunyi yang muncul secara berurutan. Hal-hal tersebut merupakan contoh butir-butir jati diri atau identitas yang melekat dalam bahasa. Pada saat belajar bahasa anak pun membangun konsep bahwa bahasa Indonesia merupakan bahasa yang demokratis sekaligus menjunjung nilai-nilai kesantunan melalui bentuk-bentuk sapaan, pilihan kata, dan paralinguistiknya. Anak mengenal kata-kata santun melalui contoh dan mengonstruksi struktur dan konsep pragmatik berbahasa melalui interaksi intensif dengan lingkungannya. Hal ini berarti jati diri bahasa dikonstruksi sejak belajar bahasa dimulai. Jati diri bahasa pun dibentuk oleh penutur dini.
Selain butir-butir jati diri, karakteristik positif dalam bahasa pun dikonstruksi sejak anak belajar bahasa. Anak belajar melalui pajanan yang baik dan mengenal butir-butir karakter terkait afiliasi komunikasi. Bentuk “terima kasih”, “apa kabar”, dan “siapa namamu?” merupakan contoh afiliasi awal yang berkarakter baik, yakni menghargai orang lain, peduli, dan berani. Selain itu, anak pun belajar resolusi konflik, karakter sportif dan mengakui kesalahan melalui bentuk “maaf” dalam konteks riil komunikasi. Oleh karena itu, menjadi penting bagi anak untuk memperoleh pajanan bahasa yang baik agar konstruksi jati diri dan karakter baik terjadi dalam waktu yang tepat secara malar.
Satu hal yang perlu disadari, bahwa belajar bahasa pada hakikatnya adalah belajar memperoleh alat berpikir, yang oleh Vygotsky (1986) diistilahkan sebagai tools of the mind. Bahasa merupakan sarana bagi anak untuk belajar fungsi dasar bahasa yakni memahami berbagai informasi, menjalin komunikasi, dan mengenali diri. Melalui bahasa anak menerima dan membangun informasi, mengenal dunia sekitarnya, dan memaknai peristiwa. Apa yang didengar anak bukan sekedar bunyi melainkan sederetan informasi yang disusun dari kata-kata yang terdiri atas bunyi-bunyi bahasa. Anak belajar bahwa apa yang dikatakan orang lain mengandung informasi. Melalui bahasa pula anak belajar menjalin komunikasi dengan orang di sekitarnya, terutama mengeskpresikan pikiran dan perasaannya. Melalui bahasa pula anak belajar mengenali diri mereka sendiri. Mereka belajar bagaimana mengungkapkan perasaan secara nyaman, mendeskripsikan diri mereka, dan memperoleh cara-cara yang tepat untuk menjadi diri mereka sendiri. Anak, dalam berbagai tahapan perkembangan kognitif Piaget (1959), mengembangkan alat berpikir dalam bahasa melalui kompleksitas fungsi-fungsi bahasa (lihat Halliday, 1973).
Fungsi dasar bahasa tumbuh dan berkembang dengan baik, hanya, apabila anak berada dalam lingkungan bahasa yang bergizi dan memiliki kesempatan cukup untuk beraktualisasi secara verbal. Anak yang hidup dalam kode luas (istilah Basil Breinstein) dan dipenuhi pajanan (istilah Soenjono) akan memiliki verbal repertoar yang lebih kaya daripada anak-anak yang dikekang dalam proses perkembangan bahasanya. Fungsi dasar bahasa anak akan berkembang dan terjadi proses penjlimetan sehingga efektivitas penggunaan bahasa semakin menguat. hal ini digambarkan oleh riset Halliday (1973) yang terus dikembangkan melalui penelitian linguistik dalam bentuk skripsi dan tesis di Indonesia.
Berdasarkan pembicaraan di atas, tepatlah bahwa mengembangkan karakter melalui bahasa merupakan salah satu pilihan yang tepat. Bukan suatu hal yang mustahil karena sejak usia dua tahun anak sudah mulai menggunakan bahasa sebagai sarana berpikir. Dalam dunia perkembangan anak, bahasa dan kognisi tidak dipisahkan (NAEYC, 2004). Karakter sendiri merupakan hasil dari proses berpikir yang sangat rumit. Menurut Pasiak (dalam Musfiroh, 2011), pendidikan karakter pada hakikatnya adalah pendidikan otak, khususnya bagian prefrontal. Bahasa, di lain pihak, berpusat pada hemisfer kiri. Meskipun demikian, muatan bahasa, termasuk muatan karakternya terkait dengan area otak yang lain. Hal ini menunjukkan bahwa bahasa memegang peran yang luar biasa dalam proses pengembangan karakter manusia.

GB. themeforest