Tadkiroatun.id – Pembelajaran jarak jauh sejak darurat Covid-19 telah sebulan lebih. Berbagai peristiwa selama belajar jarak jauh “dinikmato” oleh siswa, guru, dan orang tua. Pada awal-awal darurat Covid-19 anak-anak senang belajar di rumah. Mereka senang belajar melalui tatap muka online, merasakan sensasi video conference gratis (seperti zoom.us, meet.google, webex, umeetme, skype, maupun aplikasi video telekonferensi besutan pemerintah), mengerjakan soal dengan aplikasi, dan menyetor hafalan melalui video call. Dua minggu kemudian anak-anak mulai merasa berat. Meskipun hanya belajar dan mengerjakan tugas 2 – 3 mata pelajaran, anak-anak membutuhkan waktu lebih banyak daripada pembelajaran langsung di kelas. Anak-anak dituntut menjaga konsentrasi karena fitur tatap muka online berisiko kebisingan dan gangguan sinyal yang berefek pada kualitas suara dan gambar kamera.
Kejenuhan belajar jarak jauh pada minggu ketiga berubah menjadi beban pada minggu keempat. Orang tua yang semula mendukung belajar melalui tatap muka online mulai terbebani oleh kuota yang cukup boros. Aplikasi tatap muka online sehari dua kali menyebabkan kuota internet naik drastis. Jika sekali online siswa membutuhkan 200-500MB, maka dalam 20 hari para siswa menghabiskan dua kali jatah kuota sebulan orang tuanya. Jika dalam satu keluarga ada 3 anak yang sekolah, otomatis pengeluaran pulsa menjadi naik hingga 400%. Itu menjadi beban berat bagi keluarga menengah.
Minggu keempat pembelajaran jarak jauh dievaluasi. Tatap muka online mulai dibatasi waktu maksimal 40 menit. Pembelajaran daring divariasikan dengan aplikasi lain yang lebih hemat tetapi tetap memenuhi persyaratan media: mudah, menarik, jelas, sesuai, dan akurat. Media yang digunakan antara lain email, google classroom, file-file melalui WA, foto, voice note WA, dan chatting dalam grup kelas. Beberapa guru memanfaatkan aplikasi belajar online yang ditawarkan sebagai latihan soal. Kuota internet mulai dapat dikurangi dan siswa tidak kelelahan. Beban orang tua pada minggu keempat semakin berat karena harus mendampingi anak mereka menyesuaikan aplikasi. Kuota berselancar untuk belajar tutorial di dunia maya ikut tersedat.
Minggu kelima, guru-guru gaul mulai kreatif. Mereka memanfaatkan grup facebook untuk belajar. Anak-anak gaul yang diajar oleh guru gaul memang tak ada matinya untuk urusan belajar daring. Mereka punya banyak ide dan memiliki fleksibilitas waktu. Mereka bahkan mampu melakukan pembelajaran secara integratif dalam bentuk diskusi kelompok di berbagai aplikasi, terutama facebook. Guru menghadirkan suasana bermain medsos dalam belajar. Meskipun demikian, kondisi demikian tidak dapat terjadi 100%. Dalam kelas yang paling gaul sekalipun, tetap ada beberapa siswa yang tidak mampu mengikuti karena kendala sarana alias tidak memiliki handphone atau laptop. Di lain pihak banyak guru yang tidak memiliki akun FB mengalami kendala serius dengan aplikasi pembelajaran. Kondisi heterogen semacam ini cukup merepotkan banyak pihak.
Anak-anak di pedesaan lebih seru lagi. Keterbatasan sinyal dan gadget membuat mereka berusaha lebih keras. Beberapa orang tua, bahkan, harus rela berangkat bekerja agak siang agar anak mereka dapat mengakses materi dan tugas sekolah melalui WA dari hp sang ayah satu-satunya. Sorenya, ayah memotret hasil belajar anak dan mengirimkannya kepada sang guru. Begitu setiap hari. Pembejalaran jarak jauh menjadi tugas tambahan yang melibatkan kerja bareng banyak orang. Gangguan sinyal, terutama membuat semua aplikasi terhambat dan tidak optimal. Sementara itu pemaduan dengan pembelajaran manual menghabisskan waktu. Sumber belajar TVRI juga terganggu karena sinyal televisi milik pemerintah ini kurang bagus dan daya jangkaunya kalah jauh dengan televisi swasta. Program belajar yang ditayangkan televisi akhirnya kurang diminati.
Bagaimana dengan anak-anak yang tidak mengenal gadget? Anak-anak yang tidak memiliki akses gadget dan komputer mengalami permasalahan serius. Terpaksa, belajar jarak jauh tetap diperlakukan, tetapi secara manual. Ada dua metode yang diterapkan dengan fokus anak belajar di rumah. Pertama, orang tua ke sekolah untuk mengambil materi dan PR yang harus dikerjakan anak. Anak mengerjakan sesuai irama belajar mereka. Paginya orang tua kembali ke sekolah untuk menyerahkan PR anak lalu mengambil kembali materi dan PR baru. Kedua, guru ke rumah siswa untuk mengantar materi dan soal, sekaligus melayani jika siswa mengalami kesulitan. Apakah belajar manual ini merepotkan guru? Jawabnya, jelas merepotkan karena guru dibebani dua model pembelajaran, online dan offline sekaligus. Energi dan waktu guru terpecah karena terpaksa melayani anak-anak yang mampu belajar online dan anak-anak yang harus belajar manual sekaligus. Ini sangat luar biasa.
Bagaimana dengan sekolah di desa yang mahal sinyal dan sebagian besar siswanya tidak bergadget? Para guru tetap berusaha mengatasi masalah. Meskipun demikian, karena risiko yang tinggi, sekolah dengan kondisi demikian memutuskan untuk memberlakukan piket guru. Materi dan tugas semua mapel dipegang guru piket. Para orang tua mengambil materi dan tugas pelajaran hari tersebut pada guru piket. Sangat merepotkan ya? Tentu saja, bahkan banyak juga orang tua yang akhirnya tidak mengambil materi-tugas belajar karena alasan jarak dan keamanan.
Apakah semua guru, orang tua, dan siswa mampu mengatasi masalah. Laporan lapangan menunjukkan, tidak semua masalah belajar selama darurat Covid-19 dapat diselesaikan melalui teknolog dan piket darurat. Bimbingan, dukungan, motivasi guru secara langsung tetap dibutuhkan. Orang tua tidak sebaik guru dalam membelajarkan anak-anak karena sebagian dari mereka cenderung emosi dan kurang sabar. Keterbatasan durasi dalam teknologi kadang tidak seirama dengan gaya belajar siswa. Hal ini memacu emosi orang tua. Belajar di rumah menjadi tidak asyik bagi anak-anak.
sumber gb: liputan6.com