Tadkiroatun Musfiroh
Hampir semua manusia, termasuk kita, menyukai perhatian, prestasi, dan religiusitas. Apalagi bila ketiganya dipadu dan dilakukan di tempat ibadah, tentu kita lebih yakin akan nilai-nilai kebaikan di dalamnya. Apa yang kita lakukan seperti hadroh, qasidah, tabuh bedug, dan sholawat daerah kita yakini bernilai prestasi, atensi, dan religius. Pun jika semua itu kita lakukan di malam hari. Pendek kata, kita menganggap semua yang kita lakukan itu sebagai ibadah. Saking semangatnya, kita ingin agar orang banyak mengetahuinya. Akhirnya kita melantangkannya dengan loudspeaker. Kita bangga karena semua orang menjadi tahu siapa kita dan apa kegiatan kita. Semua orang menjadi paham aktivitas dan peran kita dalam masyarakat. Orang menjadi yakin betapa aktifnya kita dalam kehidupan sosial dan spiritual.
“Ibadah” dengan loudspeaker memang mengasyikkan, sama asyiknya dengan anak muda yang menikmati musik cadas. Ah, tentu berbeda ya, karena kita menganggap musik cadas itu impor sedangkan “ibadah” dengan loudspeaker itu kultur religi asli. Musik cadas itu memekakkan telinga sedangkan “ibadah” dengan loudspeaker justru menenteramkan hati. Kita lalu bersikeras menolak kritik karena mengkritik “ibadah” dengan loudspeaker berarti menolak agama, berarti SARA.
Masalahnya kini adalah, tidak semua orang sependapat dengan konsep kita. Mungkin tidak ada salahnya apabila kita melakukan solilokui atau senandika, melakukan refleksi dan merenung dengan kerendahan hati. Pertama, apa kita bermaksud menyejajarkan “ibadah” kita dengan adzan dan takbiran? Apakah latihan hadroh setara dengan adzan? Apakah latihan qasidah sama sakralnya dengan takbiran? Apakah memukul bedug keras-keras setelah tadarus sama pahalanya dengan tadarus itu sendiri?
Kedua, ada baiknya kita merenung, apakah motivasi kita melakukan “ibadah” dengan loudspeaker itu tulus adanya? Tidakkah tebersit riya’ di dalam ibadah kita itu? Apakah jika tidak ber-loudspeaker kita akan kehilangan kebanggaan? Apakah kita menjadi khawatir, kegiatan kita akan kehilangan banyak pendengar?
Ketiga, apakah dengan melantangkan loudspeaker maka “ibadah” kita menjadi lebih berpahala? Apakah jika kita berlatih hadroh, bermain khosidah, dan sholawatan, tanpa dilantangkan loudspeaker maka ibadah kita menjadi kehilangan pahala? Apakah jika kita tidak menabuh bedug dengan sangat keras, pahala kita menjadi berkurang? Apakah jika orang-orang tidak mendengar “ibadah” kita, berarti mereka akan kehilangan materi ibadah?
Keempat, apakah kita berpikir bahwa masyarakat harus beribadah dengan cara yang sama pada saat yang sama? Apakah masyarakat tidak boleh melakukan ibadah yang berbeda? Tidakkah kita berpikir untuk menyisakan ruang dengar kepada orang-orang di sekitar kita agar mereka melakukan ibadah yang lain di tengah-tengah keluarga mereka.
Kelima, apakah kita berpikir bahwa telinga warga adalah milik komunitas? Apakah berarti kita mewakili komunitas? Tidakkah kita berpikir bahwa banyak warga yang mungkin merasa terganggu oleh loudspeaker yang kelewat keras? Apakah bayi-bayi tidak boleh tidur dalam ketenangan di malam hari? Apakah para pegawai, pedagang, buruh yang seharian bekerja tidak boleh beristirahat? Apakah para siswa dan mahasiswa tidak boleh belajar dengan tenang? Tidakkah kita berpikir bahwa warga mungkin kehilangan ruang pribadi mereka karena terganggu oleh suara hadroh kita yang memukul-mukul gendang, oleh tabuh bedug kita yang menghentak-hentak jantung?
Saya yakin masyarakat kita adalah masyarakat yang toleran dan selalu berusaha mengalah. Mereka tidak protes karena takut dianggap melawan komunitas, takut dianggap anti agama, takut dicap tidak bisa bersosialisasi, dan takut dianggap egois. Tidak protes bukan berarti suka, bukan? Kitalah yang seharusnya bisa menimbang dengan bijak. Jika kita terganggu oleh suara keras, orang lain pun demikian. Jika kita punya kesenangan bermain musik, bukan berarti orang lain harus mendengarnya. Tidak semua yang kita lakukan harus diketahui banyak orang. Tidak semua yang kita sukai harus disukai semua orang. Oleh karena itu, marilah berlatih hadroh tanpa loudspeaker karena rasa seni akan luntur oleh kepekakan. Marilah berlatih qasidah tanpa pelantang karena yang keras tidak dapat dinikmati. Marilah menabuh bedug secukupnya karena suara bedug yang keras lagi lama itu memprovokasi jantung.
Yakinlah, bahwa yang dibisikkan lebih mengena daripada yang diteriakkan, bahwa yang menyentuh lebih termemori daripada yang menyentak.
Plosokuning, Rep 51115 – 180420 #Gb Islam reformis. wordpress