Tadkiroatun.id – Carut marut negeri ini, setidak-tidaknya, membawa sebuah perubahan paradigma bagi sebagian orang dari hedonis ke moralis. Kesadaran akan pentingnya kekuatan moral ke dalam modal sosial memercepat proses lahirnya Kebijakan Nasional Pendidikan Karakter 2011 – 2025. Sekarang kita sadar bahwa kekayaan yang berlimpah dan jumlah penduduk yang banyak tidak cukup menghantarkan Indonesia sukses menuju cita-cita Proklamasi. Social capital tinggilah yang menentukan keberhasilan Indonesia di tengah persaingan global. Dengan kata lain, karakter baiklah yang membuat masyarakat dan negara dapat tegak menyongsong cita-cita luhur. Social capital dapat terwujud apabila masyarakat Indonesia memiliki karakter dasar yang baik (loyal, jujur, kerja keras, taat kewajiban, dan kebersamaan). Tanpa social capital, Indonesia yang besar dan kaya ini akan terpuruk oleh ketidakpercayaan, kemalasan, kebohongan, pengkhianatan, dan banjir konflik.
Karakter adalah “kebagusan perilaku, rasa, dan pikiran yang dipahat”. Sebagai kebagusan yang dipahat, mau tak mau, pendidikan karakter harus dilakukan secara intensif, sejak dini, dan menyeluruh. Usia dini merupakan masa kritis manusia; masa yang tepat untuk membentuk karakternya. Secara natural, karakter itu tumbuh, terjalin, membentuk sebuah keutuhan. Di lain pihak, menurut para pakar otak manusia (neouroscience), ketiadaan “pahatan” karakter pada usia dini berpengaruh kuat terhadap struktur perkembangan otaknya (karena 90% perkembangan otak amat pesat hingga usia 7 tahun).
Permasalahannya adalah bagaimana karakter itu tumbuh dan ditumbuhkan, berkembang dan dikembangkan. Permasalahan tersebut membawa kita ke dalam kesadaran bahwa karakter merupakan nutrisi penting bagi anak untuk tumbuh dan berkembang menjadi manusia yang berkarakter pula. Oleh karena itu, tepat bahwa pada anak usia dini, karakter itu bertumbuh dan berkembang secara alami. Karakter adalah “saripati” tumbuh kembang anak usia dini.
Download makalah Karakter sebagai Saripati Perkembangan AUD (di sini)