Tadkiroatun Musfiroh
Bagi eyang buyutku, kartini adalah tanah
bagi ketela, padi, jagung, dan pohon rambutan
tempat bagi air meresapkan diri
jembar jero bagi kelimpahan
menyimpannya untuk musim panas.
Bagi nenekku, kartini adalah burung
yang harus bisa terbang tinggi,
jeli mencari biji-bijian di tengah ladang
terbang-hinggap terbang-hinggap, seni tiada henti
tatag-teteg meski dihalau, dijerat perangkap menjemput mati
Bagi ibuku, kartini adalah air
yang mencuci segala debu dan daki
menjernih diri di antara tanah, pasir, dan batu-batu
terus berjalan tanpa batas, melepas meluruh
tertampung di kebeningan telaga gunung
Bagiku, kartini adalah tumpukan fitur-fitur
dari tanah kutemui debu, dari air kutemui batu
tak mampu menahan hamparan lara,
tak sanggup menyimpan lautan rahasia
tak kuasa menampung buritan gempita
Bagiku, kartini adalah himpunan maknawi
dari butir-butir keyakinan yang kadang salah
dari pertempuran jiwa yang kadang kalah
dari ayun langkah yang kadang lelah
dari kekhilafan yang kadang pasrah
–Plosokuning, 21 April 2015