LORONG: UJUNG SEBUAH PULAU

0
212

Lorong ini, membawaku menuju
ruang di mana kau ada di situ
sejenak termangu, menunggu waktu
dan suaramu masih seperti dulu
Tatkala malaikat maut yang mengintip
Kau halau dengan cerdik

“Bangun hai ibu perkasa,
anakmu akan kehilangan pohon
jika kau menyerah. Ia akan berjalan
tanpa jiwa, matanya akan gelap,
tulangnya akan hilang. Mulutnya akan beku
karena rasa bersalahnya padamu.”

Tok tok tok !! kuadu tanganku dengan daun pintu
sontak terbuka, kau berteriak melihatku
Mata yang berbinar itu, membuatku mandi cahaya
Kau sebut namaku, keras seperti panggilan nenekku
Pecah tawa, menggema di ruang-ruang
Memaksa semua melihat, ada apa

“Kapan kau waras?” sapamu mesra
Kulihat bunga-bunga menyembul-nyembul di dadamu
“Kau selalu lupa, aku cuma pasien,” jawabku jenaka
Tawamu masih keremes, masih renyah
Lantai, tiang, dinding merekamnya.
Aku yakin kau akan memutarnya, kapan saja

Di lorong ini aku lurus menatap
Melangkah dan tak akan mengetuk lagi
Biarlah pintu itu menjadi tombol kenang
Menyelinapkan rasa takut yang kulipat
Melipatkan rasa takutmu yang menyelinap
Di sinilah tebing, ujung sebuah pulau.

Yogyakarta, 1 April 2016