Membabat Plagiarisme

0
353

Tadkiroatun Musfiroh

Plagiarisme, kembali naik daun. Kesadaran masyarakat akan hak kekayaan intelektual kian membaik. Jika dulu orang apatis terhadap segala bentuk plagiarisme kini orang bersemangat membongkarnya. Kasus demi kasus plagiat terkuak dan membuat banyak mata terbelalak.

Plagiarisme ada di mana-mana dan bisa menimpa siapa saja, tak peduli pangkat dan derajat. Di ruang kampus yang paling bergengsi sekali pun, seperti yang terjadi di beberapa PT ternama di Indonesia, bahkan di Universitas Bayreuth Jerman dan London School of Economics (LSE) di Inggris, plagiarisme datang menggerogoti kewibaaan akademik.

Plagiarisme terkait teknologi informasi (TI). TI sesungguhnya, menjadi pedang bermata dunia. Di satu pihak, ia menumbuhsuburkan praktik plagiarisme, di sisi lain ia juga membantu membongkar kasus-kasusnya hingga menembusciting index dan sumber kecurangan. TI membantu orang untuk mendapatkan sumber dengan mudah dan melakukan copy paste diam-diam. Pelakunya, mungkin terlalu naif sehingga tidak menyadari bahwa kecurangan yang dilakukannya itu mudah diketahui orang lain.

Praktik plagiarisme di Indonesia sudah terjadi sejak zaman baheula. Menjiplak karya dengan sengaja, menggandakan karya tanpa ijin, mengalihnamakan, kompilasi tanpa menyebutkan sumber, hingga reproduksi ide telah lama merebak. Semangat kebersamaan dan sikap toleransi yang tidak pada tempatnya dituding sebagai biang, selain mental korup sebagai biang utamanya.

PLAGIAT - www.wikohow.com

Sumber gambar: www.wikohow.com

Akar Plagiarisme

Plagiarisme dapat dilakukan dengan berbagai cara, dari yang paling vulgar hingga paling halus. Penggantian nama sendiri atas karya orang lain secara utuh merupakan plagiarisme paling vulgar dan parafrase tanpa notasi merupakan plagiarisme paling halus.

Plagiarisme tumbuh dari benih integritas akademik yang buruk. Pelaku memandang “sebelah mata” terhadap karya dan inovasi kreasi orang lain, serta bermental korup. Pelaku memandang plagiarisme sebagai tindak wajar dan tidak perlu dipermasalahkan.

Plagiarisme tumbuh di lingkungan yang sepi kompetisi dan kabur ekspektasi. Ketiadaan kompetisi memicu ekspektasi “bagi-bagi” yang tidak sehat. Asumsi bahwa “semua orang pintar” diterjemahkan secara keliru sehingga hak diratakan begitu saja tanpa indikator yang berpihak pada inovasi.

Plagiarisme semakin membudaya karena ketiadaan sistem filter. Dalam kondisi vakum, individu dan kelompok merasa bebas lepas karena tipisnya kepastian terhadap aturan. Mencipta dan menjiplak sama saja harganya. Dalam beberapa kasus, plagiarisme tertutup oleh “ewuh-pakewuh” senioritas.

Membabat Plagiarisme

Plagiarisme dibabat melalui 3 cara, yakni melalui sistem teknis, rule, dan values. Sistem teknis berarti setiap perguruan tinggi harus memiliki aplikasi pendeteksi plagiarisme. Aplikasi ini mampu menemukan indeks of citing (IC) dan sumber yang digunakan pelaku. Plagiarism.org dan Plagiarism.com adalah dua nama yang terkenal di perjagatan plagiarisme dunia.

Sistem aturan, berarti setiap karya yang akan dipublikasikan harus lolos deteksi plagiarisme. Karya yang terindikasi plagiat ditindaklanjuti sesuai besaran indeks kecurangannya. IC di bawah 30% ditindaklanjuti dengan pembenahan karya, IC antara 30 – 70% ditindaklanjuti dengan pembinaan dan pembenahan karya, IC di atas 70% ditindaklanjuti dengan pencabutan hak atas karya. Keberulangan plagiarisme harus ditindaklanjuti dengan sanksi hukum.

Sistem values berarti konvensi nilai moral yang hidup dalam komunitas. Dalam kaitan ini, seluruh civitas memiliki tatanan perilaku sevisi, melihat plagiarisme sebagai tindak kejahatan yang harus dihindari, dan menilai karya orang lain sebagai sesuatu yang harus dihargai.

Sistem ini akan sampai pada pemahaman bahwa karya tidak lahir dalam kekosongan. Oleh karena itu, penelusuran karya mutlak dilakukan. Karya-karya sebelumnya merupakan jejak rekam yang menentukan posisi karya yang sedang dibuat, dan setiap detil inovasi adalah bernilai.

Rep: Januari 2013

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here