Tadkiroatun.id – Sejak John Dewey mengembangkan konsep experiential learning, pendidik mulai menyadari bahwa transfer ilmu merupakan konsep yang patut dipertanyakan. Terlebih lagi ketika konsep contructivism mulai merambah dunia pendidikan, praktik transfer ilmu melalui ceramah tidak lagi populer. Pendidik modern menyadari bahwa kapabilitas terbangun, dan bukan terkopi. Aktivitas aktif produktif menjadi pilihan bagi pendidik untuk menciptakan situasi belajar yang kondusif. Oleh karena itu, memberi kesempatan anak untuk menulis karya sastra menjadi salah satu alternatif untuk mengembangkan berbagai kemampuan, termasuk abilitas moral dan budaya.
Menulis karya sastra tidak terpisahkan dari kegiatan belajar bahasa. Keduanya terkait erat dengan aktivitas kognitif. Menurut Vygotsky, semua aktivitas kognisi didasarkan pada suatu matriks sosiohistoris (anak) dan bentuk produksi perkembangan sosiohistorisnya (Luria, 1979). Kecakapan berpikir beserta pola-polanya, tidak ditentukan oleh faktor bawaan tetapi lebih oleh aktivitas yang dilakukan di dalam institusi sosial dari kultur kehidupan anak. Kultur di sekitar anak inilah yang menentukan cara berpikir anak, termasuk berpikir tentang moral. Dalam proses perkembangan kognisi, bahasa menjadi alat yang sangat penting untuk menentukan bagaimana anak belajar dan berpikir. Modus berpikir yang rumit ditransmisikan melalui bahasa (Murray, 1993).
Keterangan gb: jeff hurt blog