Efek pilkada dan pilpres yang berlarut-larut memunculkan kesadaran baru, bahwa manusia –sejatinya- memiliki sekat. Hasil yang di luar dugaan menunjukkan bahwa ada ruang pribadi yang tidak dapat diganggu, ruang yang dibatasi sekat. Sekat itu dibentuk sendiri oleh manusia secara bawah sadar dalam berbagai bentuk dan kadar. Sekat dibuat untuk melindungi diri, untuk mendudukkan diri, dan mengotakkan diri. Dalam pilkada, sekat dan kotak tampak dalam berbagai bentuk, seperti menolak, mendukung, memuji, mencaci, dan membully.
Sekat bisa terbuka ketika manusia saling membuka diri, saling berkomunikasi, saling berinteraksi. Interaksi berfungsi membuat hubungan antarmanusia, yang dalam skala besar akan membentuk kelompok, klik, genk, atau koalisi. Semakin dekat hubungan, semakin tipis sekat yang membatasi. Hal-hal yang menipiskan sekat disebut perekat atau antisekat.
Fenomena pemilih dalam pemilu dan pilkada adalah bukti bahwa manusia tersekat-sekat sekaligus membentuk kotak melalui rekatan. Orang dulu bilang, “Wong sholat kumpule wong sholat, wong omben kumpule wong omben“, ‘Orang yang sholat akan berkumpul dengan orang yang sholat, orang yang minum (minuman keras) akan berkumpul dengan orang yang minum juga”. Intinya, orang “rekat” karena mereka memiliki kesamaan, baik itu kesamaan identitas, kesamaan cita-cita, kesamaan nasib, maupun kesamaan perilaku.
Penting bagi setiap komunikan dan fasilitator untuk memahami, bahwa keberhasilan komunikasi ditentukan oleh tebal tipisnya sekat dan rekatan. Sekat identik dengan perbedaan dan rekatan identik dengan kesamaan. Semakin banyak kesamaan dibentuk, semakin berhasillah komunikasi (baca koalisi) itu. Semakin banyak perbedaan, semakin gagal dia membentuk jalinan komunikasi (koalisi). Coba Anda simak cerita saya berikut ini.
Seorang mahasiswa membuat status, menunjukkan kehebatan organisasinya lalu membandingkannya dengan organisasi sebelahnya. ia berkata bahwa organisasinya berhasil membangun ratusan PT dan ribuan sekolah, serta solid dalam percaturan politik tidak seperti organisasi sebelah. Status tersebut berhasil menyedot perhatian sekaligus komentar negatif. Banyak pembaca merasa tidak nyaman, terutama pembaca dari organisasi sebelah yang dimaksud sang mahasiswa. Itulah yang disebut membuat sekat. Hal ini menunjukkan bahwa sekat kadang diciptakan secara sadar untuk menunjukkan jati diri, untuk menunjukkan prestasi, dan mendudukkan orang lain pada tempat yang diinginkan. Celakanya, sekat ini kadang dibuat oleh orang-orang yang berada pada wilayah agama. “Kabira dan Allahuma baid baini saja sudah bisa jadi sekat kok”, komentar para bijak. Padahal, sekat antaragama atau lintas agama cenderung tajam karena terkait keyakinan akan kebenaran.
Ilustrasi di atas menunjukkan bahwa sejatinya manusia sering membuat sekat dan rekat secara bersamaan. mahasiswa di atas membuat rekatan dengan teman seorganisasi tetapi sekaligus membuat sekat dengan orang di luar organisasinya. Apakah hal itu salah? Tentu tidak sepenuhnya salah. Meskipun demikian, dalam konteks yang tidak pas, sekat akan lebih kuat muncul daripada rekatan. Mengapa harus membuat sekat, sementara secara natural ada berbagai hal yang bisa menjadi penyekat. Agama, kedudukan, pendidikan, perilaku, keturunan, status, etnis, pendapat, hobi. adalah contoh penyekat yang berpotensi sebagai perekat. Orang yang seagama, seorganisasi, seketurunan, satu etnis, satu hobi akan cenderung rekat. Sebaliknya, orang yang berbeda agama, organisasi, keturunan, suku, hobi, dan asal, misalnya, akan cenderung bersekat. Sekat-sekat tersebut dapat runtuh dengan sendirinya dapat pula diruntuhkan dengan desain tertentu.
Bagaimana sekat runtuh secara natural? Pertama, sekat akan luruh secara natural oleh keinginan untuk membantu sesama. Antisekat itu bernama kemanusiaan. Apa buktinya? Coba Anda perhatikan, ketika bencana terjadi, manusia bersatu tanpa sekat. Ketika ada bencana, manusia akan saling menolong tanpa pamrih karena rasa kemanusiaannya. Manusia saling menghibur, saling memeluk, dan saling membantu tanpa pamrih.
Kedua, sekat akan menipis oleh ketika manusia tidak saling berprasangka. Antisekat itu bernama rasa percaya. Jika ada rasa percaya, meskipun berbeda agama dan berbeda suku, bahkan berbeda bangsa, manusia bisa berbicara tanpa sekat. Dua orang yang saling percaya bahkan bisa bersahabat. Mereka akan saling bercerita, membantu, mendukung, dan tidak mustahil memilih paslon yang sama dalam pilkada atau pilpres. Jika pun berbeda, rasa percaya itu tetap akan menyelamatkan mereka dari efek buruk sekat. Sekat akan kembali terbentuk ketika rasa percaya mulai terkikis.
Ketiga, sekat akan memudar ketika manusia memiliki berbagai hal yang sama. Antisekat itu bernama kesamaan. Kesamaan mungkin berwujud status, hobi, asal, pendapat, cita-cita, pendidikan, agama, bahkan musuh. Dua orang atau lebih yang memiliki hobi yang sama akan mudah dekat karena sekat hobi di antara mereka luruh. Dua orang atau lebih dengan musuh yang sama akan merasa senasib. Memiliki musuh yang sama berarti juga memiliki kepentingan yang sama.
Akhirnya, bagaimana mendesain rekat dan menghilangkan sekat? Sekat akan luruh jika kita dapat memunculkan rasa kemanusiaan, memupuk rasa percaya, dan memperbanyak kesamaan. Ketiga hal ini membuat rekatan lebih kuat. Celakanya, banyak orang memilih kepentingan sebagai perekat. Padahal, kepentingan adalah perekat sementara dan tidak bersifat langgeng. Bukan hanya itu, kepentingan seringkali disertai perekat berbahaya yang disebut musuh bersama yang mengarah pada individu atau kelompok. Serangan demi serangan dilancarkan kepada “musuh bersama” tanpa ampun. Alhasil, sekat-sekat psikologis mudah terbentuk setelah kepentingan tak lagi ada. Tidak mustahil, pihak-pihak yang berkepentingan akan saling jegal dan dendam. Berhati-hatilah menggunakan kepentingan sebagai perekat dan antisekat.
= Rep 170817 – 170420 =
Sumber gambar: www.theplaidzebra.com