WACANA WATA WATA

0
250

Hidup kadang ingin memihak, termasuk dalam hal berwacana. Meskipun demikian, selama tidak perlu memihak, sebaiknya tidak memihak. Dengan halnya dalam situasi “Perang Dingin” (yang kian memanas) antara kubu A dan C yang kemudian melahirkan kubu B. (B itu bisa bingung juga bisa balance). Alhasil, kognisi sosial kita bergulir dan menemukan identitasnya melalui cara-cara yang kian beragam termasuk cara yang sangat apriori.

Saya mencoba beberapa kali test to the water, menunjukkan wacana berupa berita dan video ke grup grup. Reaksinya berbeda. Ketika Episode-18 Virus Corona saya share, 2 Grup langsung diam, tidak ada yang menyahut. Beberapa di antaranya japri saya, protes dan mengajukan keberatan. Mereka mengira saya berada di tetangga sebelah, sedang menyebarkan ideologi baru, dan menuduh saya sudah terkena virus kubu C. Di grup lain episode itu jadi perbincangan hangat dan diterima. Itulah wacana. Tergantung pada hungernya, bahkan terkesan deiktis, jauh-dekat menjadi siapa yang bicara. Sana salah dan sini benar begitu pun sebaliknya, tergantung siapa yang jadi sana dan jadi sini. Malah kadang-kadang muncul kesan ambigu.

Beberapa bulan lalu, saya berfoto dengan seorang tokoh. Saya upload di FB. Tidak membutuhkan waktu lama untuk mendapatkan reaksi protes dan bullyan, juga pujian dan dukungan. Ada yang menyebut beliau pengkhianat, penghisap ummat, bahkan setan berbaju malaikat. Sebaliknya ada yang memuji beliau orang cerdas, kreatif, dermawan, dan selalu memikirkan ummat. Bagaimana dengan tokoh tersebut? Penilaian saya terhadap beliau tidaklah penting, karena saya berteman tidak untuk menilai.

Saya pernah sedih ketika seorang Kyai sepuh dimunculkan dalam ranah politik papan atas. Sebagai pengguna aktif medsos saya tahu desir angin bertiup kencang ke kanan dan ke kiri tergantung kubu dan kepentingannya. Bully terhadap beliau luar biasa bahkan sampai ke hal-hal yang bersifat pribadi. Tapi kemudian saya menyadari kebaperan saya itu terlalu awam. Bully dan puja itu risiko beliau sebagai tokoh. Hidup ini berkelompok, seperti cerita WAG saya di atas. Setiap tokoh punya massa, setiap massa punya kognisi sosialnya sendiri, punya instrumen penilaian sendiri, dan punya standar sikap sendiri. Lebih dari itu, kelompok yang terbentuk dari kecenderungan ideologi, kepentingan, dan kemiripan identitas itu, memiliki pola kekuatan yang kurang lebih sama sehingga mudah digerakkan oleh sebuah pemantik kepentingan.

Mahasiswa memberikan pertanyaan terkait pernyataan Donald Trump Mantab banget dia berbicara tentang konspirasi. Lalu saya gulirkan Episode-18 itu sebagai penyeimbang. Mahasiswa kaget kok beda banget dengan yang mereka tahu selama ini. Itulah, kubu selalu menciptakan wacana, lalu wacana itu akan dianalisis sebagai wacana lagi oleh kelompok lain, begitu seterusnya. Ketika kepentingan bicara, akan selalu ada blow up dan selalu ada yang disembunyikan. Akhirnya manusia terbelah bahkan terkotak-kotak. Di sini pentingnya pemaham hadir. Meskipun tidak sepenuhnya netral, pemaham tetap relatif lebih bersih dari kepentingan dukungan. Pemaham lebih memiliki kepentingan memahami daripada memihak atau mendukung. Pemaham membawa berbagai tafsir untuk mendekatkan publik pada fakta yang -lebih- berimbang dan menilik kepentingan yang mungkin muncul.

Akan halnya berita, setidak netral apa pun tetaplah berdasar materi. Berita tidak sepenuhnya mengada-ada. Sangat mungkin berita itu bertentangan dengan materi yang diolah, mungkin hanya mencuplik, mungkin malah salah menafsir. Misal, dalam sebuah darurat bencana, seorang Camat menggelontorkan 1 milyar tetapi sebulan lalu dia tidak mengeluarkan dana sepeser pun, saat semua lurah telah memberikan bantuan semampu mereka. Materi ini diolah para wartawan dengan sudut pandang dan style yang berbeda. Apalagi jika wartawan tersebut berada pada kelompok yang berbeda. Akan muncul versi “Pak Camat TIdak Tanggap Bencana”, “Saat Semua Lurah Mengerahkan Bantuan, Seorang Camat Justru Berdiam Diri”. “Dalam Kondisi Keuangan Sulit Camat X Menggelontorkan Dana 1 M”, “Dibully Tak Tanggap Bencana, Camat X Malah Menggelontorkan Dana 1 M” Sangat mungkin muncul polemik, muncul wacana-wacana baru yang lebih panas, membagi masyarakat menjadi berkubu-kubu ketika Sang Camat memiliki pesaing. Kepentingan dan kekuasaan bermain dalam wacana menjadikannya lebih keras menyalak.

Sekali lagi, wacana itu bukan fakta, dan tidak dijamin kenetralannya. Jadi jangan menuntut orang menulis fakta netral 100% dalam sebuah wacana. Itu nyaris tidak mungkin bisa. Fakta itu terlalu kompleks untuk digambarkan dan jika pun ada, banyak orang yang tidak akan tahan membacanya apalagi ketika pembaca sudah berada dalam kotak ideologi dan keberpihakan. Bahwa hati manusia selalu ingin berpihak pada kebenaran itu benar, tapi bahwa manusia hanya mampu melihat kebenaran satu sisi, itu tidak benar. Mengapa? Karena selalu ada sisi lain, selalu ada data lain, selalu ada pandangan lain. Maka, orang Jawa mengenal istilah, “aja ngugemi benere dhewe” ‘jangan memonopoli arti kebenaran sendiri’

Hal lain terkait wacana adalah masalah wata-wata. Masalah ini terjadi ketika orang gagal berpikir mandiri dalam kelompok dan gagal setia dalam kelompok ketika bisa mandiri. Orang dalam kelompok menjadi sangat keras terhadap kelompok lain lalu tutup mata, tutup telinga, bahkan tutup hati. Tapi begitu keluar dari kelompok, mereka memilih menghujat kelompok lamanya, menjadikannya sebagai “masa lalu yang menyesatkan”. dan mendudukkan diri selalu dalam kebenaran.

Sangat penting bagaimana kita mampu berpikir mandiri, melepaskan diri dari wacana wata-wata, ketika berada dalam kelompok dan tetap memikirkan kepentingan kelompok ketika sudah lepas mandiri. Jangan dibalik. Jika dibalik kita akan menjadi manusia tanpa sikap kritis dan larut arus. Sebaliknya pula kita akan menjadi manusia plin-plan yang durhaka atau kacang lupa kulit. Keduanya sama buruknya.

Sumber gambar: Springer.link